Pondok pesantren merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Berdasarkan hasil pendataan dari Departemen Agama pada tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 atas nama Pesantren Jan Tampes II di Pamekasan Madura (Depag RI, 1984/1985:668), tetapi menurut Mastuhu (1994 : 19) hal ini diragukan, karena tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Dalam buku Departeman Agama banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian, jadi ada kemungkinan Pesantren tersebut ada yang berusia lebih tua.
Mastuhu menduga bahwa Islam telah diperkenalkan di Kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 M oleh para musafir dan pedagang muslim, melalui jalur perdagangan dari teluk Persia dan Tiongkok yang telah dimulai sejak abad ke-5. Kemudian, sejak abad ke-11 M dapat dipastikan Islam telah masuk ke Kepulauan Nusantara melalui kota-kota pantai. Hal ini terbukti dengan ditemukannya:
1. Batu nisan atas nama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 474 H atau tahun 1082 M di Leran Gresik.
2. Makam Malikus Saleh di Sumatra bertarikh abad ke-13 M.
3. Makam Wanita Islam bernama Tuhar Amisuri di Barus, Pantai Barat Pulau Sumatra bertarikh 602 H.
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa penyebaran dan pendalaman Islam secara intensif terjadi pada masa abad ke-13 M sampai akhir abad ke-17 M. Dalam masa itu berdiri pusat-pusat kekuasaan dan studi Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate/Tidore, dan Gowa Tallo di Makassar. Dari pusat-pusat inilah kemudian Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara, melalui para pedagang, wali, ulama, mubaligh, dan sebagainya; dengan mendirikan pesantren, dayah, dan surau (MUI, 1986 : 13-14). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi Nusantara ini dalam periode abad ke-13-17 M, dan di Jawa terjadi dalam abad ke-15-16 M.
Menurut Mastuhu (1994 : 21), tentang riwayat berdirinya sebuah Pesantren diawali dengan kelana seorang ulama untuk menyebarkan agamanya dengan diikuti oleh satu-dua orang santrinya, yang bertindak sebagai cantrik, yaitu orang yang magang (belajar ilmu) pada kiai. Ulama atau kiai tersebut adakalanya terminal atau berhenti menetap lebih dulu di pinggiran desa atau hutan kecil sekitar desa, kemudian mengadakan pengajian kepada satu-dua orang desa, yang akhirnya diikuti oleh seluruh masyarakat desa.
Pesantren menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim, dan dewasa ini diperkirakan telah menampung lebih dari satu juta santri. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Terutama di zaman kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat Islam. Tidak sedikit pemimpin bangsa terutama dari angkatan 1945 adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Tujuan utama pendirian Pondok Pesantren adalah untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian muhsin, bukan sekedar muslim (Mastuhu, 1994 : 56).
Tujuan masyarakat belajar di Pondok Pesantren adalah untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fiddin, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Muhammad Nour Auliya (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/15/1103.htm), ada.dua klisifikasi Pondok Pesantren, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi, yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah). Hubungannya antara kewirausahaan dengan pesantren, terutama pada pesantren modern adalah, para santrinya mendapat pelajaran di kelas yang lebih lama dibanding para siswa sekolah umum. Ini karena mata pelajarannya lebih banyak. Para santri juga dibekali berbagai keterampilan seperti menjahit, membuat kerajinan tangan, berwirausaha, bercocok tanam, bela diri, keterampilan berbahasa, berpidato, komputer, dan berbagai macam ekstrakurikuler. Untuk memperlancar bahasa asing, pada waktu-waktu tertentu, para santri diharuskan untuk berbicara menggunakan bahasa Arab atau Inggris dalam percakapan sehari-hari. Kurikulum yang ada pada pesantren baik salaf maupun modern sangat sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam kewirausahaan, antara lain, bagaimana membangun karakter yang tangguh, kreatif, inovatif, cerdas, mandiri, produktif dan mampu memanfaatkan peluang atau sumberdaya yang ada. Karenanya, dengan pengertian yang luas itu, maka pengembangan budaya kewirausahaan mestinya mencakup lintas bidang, bukan bisnis atau usaha belaka.
Pada umumnya, para pemuda-pemudi sangat dipengaruhi oleh orangtuanya dalam hal memilih jenis dan lembaga pendidikan. Dalam konteks pondok pesantren hal ini sangat penting kalau ingin tahu siapa yang memilih pendidikan pesantren daripada pendidikan sekolah umum. Misalnya, kalau seorang santri berasal dari keluarga yang kaya dan sudah terbiasa dengan kehidupan yang mewah dan nyaman, mungkin santri tersebut akan merasa keberatan kalau bersekolah di pondok pesantren yang mementingkan kesederhanaan, atau kalau orangtua santri adalah orang yang sangat aktif dalam urusan masyarakat, bidang keagamaan dan sangat rajin beragama, maka si santri tersebut mungkin akan lebih cepat memeluk ajaran yang dia temukan di pondok karena sudah terbiasa.
Salah satu program yang penting berkaitan dengan sangat terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia adalah pengembangan budaya kewirausahaan (entrepreneurship). Kewirausahaan di sini hendaknya jangan dipahami hanya sekedar kemampuan membuka usaha sendiri. Namun lebih dari itu, kewirausahaan haruslah dimaknai sebagai momentum untuk mengubah mentalitas, pola pikir dan perubahan sosial budaya.
Sedangkan pengertian kewirausahaan sendiri adalah kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan (peluang) bisnis serta kemampuan mengoptimalisasikan sumberdaya dan mengambil tindakan serta bermotivasi tinggi dalam mengambil resiko dalam rangka mensukseskan bisnisnya ( http://www.deptan.go.id/pusbangwiranis/istilah.html). Menurut Sudhamek AWS (http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg00433.html), entrepreneur adalah orang yang mampu melihat peluang, berani mengambil peluang dan mampu mewujudkan peluang tersebut. Kemampuan seperti itu sangat relevan untuk setiap calon Entrepreneur dan pelaku bisnis yang mempunyai keinginan kuat untuk berhasil. Selain daripada itu, Entrepreneur yang sukses memiliki banyak karakter positif seperti kreatif dan inovatif, berani mengambil resiko, tangguh menghadapi tantangan, serta jujur pada diri sendiri dan orang lain Sementara itu menurut Winarto kewirausahaan adalah peran yang dilakukan oleh seseorang dimana salah satu kegiatannya adalah berinovasi. Kewirausahaan tidak hanya di perusahaan swasta yang berorientasi mencari laba, melainkan juga di lembaga nirlaba dan di pemerintahan. (http://www.pertamina.com/indonesia/head_office/hupmas/news/BPertamina/2004/Juni/14_Juni/BP120604M203.htm).
Peran wirausaha adalah memperbaharui dengan merusak secara kreatif (creative destruction maker) dengan keberanian melihat dan mengubah apa yang sudah dianggap mapan, rutin, dan memuaskan. Peran lain dari wirausaha adalah sebagai Inovator (innovator) yang menghadirkan hal-hal baru di masyarakat. Juga mengambil dan memperhitungkan risiko (risk calculator). Wirausaha juga berperan mencari peluang dan memanfaatkannya (opportunity seeker and exploiter). Serta menciptakan organisasi baru (organization maker). Selanjutnya hasil karya wirausaha itu sendiri adalah untuk menghasilkan sumberdaya baru yang sejahtera dan juga dapat meningkatkan kemampuan sumberdaya yang ada untuk menciptakan kesejahteraan bersama, kewirausahaan dapat berjalan dengan baik jika pelaksananya memiliki karakteristik pribadi wirausaha.
Dalam mengembangkan antara wirausaha dan inovasi, wirausaha adalah orang yang melakukan inovasi sedangkan orang yang tidak sedang melakukan inovasi dianggap tidak melakukan peran sebagai wirausaha. Dan inovasi itu sendiri mempunyai pengertian yang sedikit lebih spesifik, yaitu suatu usaha untuk menciptakan perubahan yang terfokus dan disengaja di bidang ekonomi atau potensi sosial suatu organisasi. (http://www.pertamina.com/indonesia/head_office/hupmas/news/BPertamina/2004/Juni/14_Juni/BP120604M203.htm).
Kemampuan kewirausahaan menjadi salah satu hal yang tengah digiatkan di lembaga pendidikan Pondok Pesantren, tujuannya agar santri tidak hanya mampu menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku sekolah atau Pondok Pesantren, tetapi juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan bukan sibuk untuk mencari lapangan pekerjaan yang semakin terbatas. Contohnya adalah dengan memberikan kecakapan hidup (life skill) yang berupa kemampuan beternak, budidaya perikanan, perkebunan, pengolahan obat-obatan, berdagang, perbengkelan otomotif, dan permebelan. Santri yang masuk dalam lembaga pendidikan pondok pesantren terdiri dari berbagai latar belakang karakteristik sosiologis yang berbeda-beda, perbedaan tersebut masing-masing terletak pada perbedaan asal daerah, status sosial ekonomi orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan jenis pondok pesantren dimana santri tersebut belajar, tetapi ada pertanyaan yang perlu dicari jawabannya disini adalah apakah potensi kemampuan kewirausahaan seorang santri memiliki perbedaan dengan pelbagai latar belakang karakteristik sosiologis tersebut? Hal ini mengingat adanya asumsi awal bahwa setiap orang memiliki potensi kemampuan kewirausahaan.
Penelitian ini berusaha mengungkap bagaimana potensi kemampuan kewirausahaan santri ditinjau dari beberapa latar belakang karakteristik sosiologis santri di Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Modern Daarul Fikri di JL. Margojoyo VII/6 Dau Malang dan Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Syamsul ‘Arifin di Desa Pukul Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
Mastuhu menduga bahwa Islam telah diperkenalkan di Kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 M oleh para musafir dan pedagang muslim, melalui jalur perdagangan dari teluk Persia dan Tiongkok yang telah dimulai sejak abad ke-5. Kemudian, sejak abad ke-11 M dapat dipastikan Islam telah masuk ke Kepulauan Nusantara melalui kota-kota pantai. Hal ini terbukti dengan ditemukannya:
1. Batu nisan atas nama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 474 H atau tahun 1082 M di Leran Gresik.
2. Makam Malikus Saleh di Sumatra bertarikh abad ke-13 M.
3. Makam Wanita Islam bernama Tuhar Amisuri di Barus, Pantai Barat Pulau Sumatra bertarikh 602 H.
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa penyebaran dan pendalaman Islam secara intensif terjadi pada masa abad ke-13 M sampai akhir abad ke-17 M. Dalam masa itu berdiri pusat-pusat kekuasaan dan studi Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate/Tidore, dan Gowa Tallo di Makassar. Dari pusat-pusat inilah kemudian Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara, melalui para pedagang, wali, ulama, mubaligh, dan sebagainya; dengan mendirikan pesantren, dayah, dan surau (MUI, 1986 : 13-14). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi Nusantara ini dalam periode abad ke-13-17 M, dan di Jawa terjadi dalam abad ke-15-16 M.
Menurut Mastuhu (1994 : 21), tentang riwayat berdirinya sebuah Pesantren diawali dengan kelana seorang ulama untuk menyebarkan agamanya dengan diikuti oleh satu-dua orang santrinya, yang bertindak sebagai cantrik, yaitu orang yang magang (belajar ilmu) pada kiai. Ulama atau kiai tersebut adakalanya terminal atau berhenti menetap lebih dulu di pinggiran desa atau hutan kecil sekitar desa, kemudian mengadakan pengajian kepada satu-dua orang desa, yang akhirnya diikuti oleh seluruh masyarakat desa.
Pesantren menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim, dan dewasa ini diperkirakan telah menampung lebih dari satu juta santri. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Terutama di zaman kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat Islam. Tidak sedikit pemimpin bangsa terutama dari angkatan 1945 adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Tujuan utama pendirian Pondok Pesantren adalah untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘izzul Islam wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian muhsin, bukan sekedar muslim (Mastuhu, 1994 : 56).
Tujuan masyarakat belajar di Pondok Pesantren adalah untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fiddin, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Muhammad Nour Auliya (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/15/1103.htm), ada.dua klisifikasi Pondok Pesantren, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi, yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah). Hubungannya antara kewirausahaan dengan pesantren, terutama pada pesantren modern adalah, para santrinya mendapat pelajaran di kelas yang lebih lama dibanding para siswa sekolah umum. Ini karena mata pelajarannya lebih banyak. Para santri juga dibekali berbagai keterampilan seperti menjahit, membuat kerajinan tangan, berwirausaha, bercocok tanam, bela diri, keterampilan berbahasa, berpidato, komputer, dan berbagai macam ekstrakurikuler. Untuk memperlancar bahasa asing, pada waktu-waktu tertentu, para santri diharuskan untuk berbicara menggunakan bahasa Arab atau Inggris dalam percakapan sehari-hari. Kurikulum yang ada pada pesantren baik salaf maupun modern sangat sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam kewirausahaan, antara lain, bagaimana membangun karakter yang tangguh, kreatif, inovatif, cerdas, mandiri, produktif dan mampu memanfaatkan peluang atau sumberdaya yang ada. Karenanya, dengan pengertian yang luas itu, maka pengembangan budaya kewirausahaan mestinya mencakup lintas bidang, bukan bisnis atau usaha belaka.
Pada umumnya, para pemuda-pemudi sangat dipengaruhi oleh orangtuanya dalam hal memilih jenis dan lembaga pendidikan. Dalam konteks pondok pesantren hal ini sangat penting kalau ingin tahu siapa yang memilih pendidikan pesantren daripada pendidikan sekolah umum. Misalnya, kalau seorang santri berasal dari keluarga yang kaya dan sudah terbiasa dengan kehidupan yang mewah dan nyaman, mungkin santri tersebut akan merasa keberatan kalau bersekolah di pondok pesantren yang mementingkan kesederhanaan, atau kalau orangtua santri adalah orang yang sangat aktif dalam urusan masyarakat, bidang keagamaan dan sangat rajin beragama, maka si santri tersebut mungkin akan lebih cepat memeluk ajaran yang dia temukan di pondok karena sudah terbiasa.
Salah satu program yang penting berkaitan dengan sangat terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia adalah pengembangan budaya kewirausahaan (entrepreneurship). Kewirausahaan di sini hendaknya jangan dipahami hanya sekedar kemampuan membuka usaha sendiri. Namun lebih dari itu, kewirausahaan haruslah dimaknai sebagai momentum untuk mengubah mentalitas, pola pikir dan perubahan sosial budaya.
Sedangkan pengertian kewirausahaan sendiri adalah kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan (peluang) bisnis serta kemampuan mengoptimalisasikan sumberdaya dan mengambil tindakan serta bermotivasi tinggi dalam mengambil resiko dalam rangka mensukseskan bisnisnya ( http://www.deptan.go.id/pusbangwiranis/istilah.html). Menurut Sudhamek AWS (http://www.mail-archive.com/jamaah@arroyyan.com/msg00433.html), entrepreneur adalah orang yang mampu melihat peluang, berani mengambil peluang dan mampu mewujudkan peluang tersebut. Kemampuan seperti itu sangat relevan untuk setiap calon Entrepreneur dan pelaku bisnis yang mempunyai keinginan kuat untuk berhasil. Selain daripada itu, Entrepreneur yang sukses memiliki banyak karakter positif seperti kreatif dan inovatif, berani mengambil resiko, tangguh menghadapi tantangan, serta jujur pada diri sendiri dan orang lain Sementara itu menurut Winarto kewirausahaan adalah peran yang dilakukan oleh seseorang dimana salah satu kegiatannya adalah berinovasi. Kewirausahaan tidak hanya di perusahaan swasta yang berorientasi mencari laba, melainkan juga di lembaga nirlaba dan di pemerintahan. (http://www.pertamina.com/indonesia/head_office/hupmas/news/BPertamina/2004/Juni/14_Juni/BP120604M203.htm).
Peran wirausaha adalah memperbaharui dengan merusak secara kreatif (creative destruction maker) dengan keberanian melihat dan mengubah apa yang sudah dianggap mapan, rutin, dan memuaskan. Peran lain dari wirausaha adalah sebagai Inovator (innovator) yang menghadirkan hal-hal baru di masyarakat. Juga mengambil dan memperhitungkan risiko (risk calculator). Wirausaha juga berperan mencari peluang dan memanfaatkannya (opportunity seeker and exploiter). Serta menciptakan organisasi baru (organization maker). Selanjutnya hasil karya wirausaha itu sendiri adalah untuk menghasilkan sumberdaya baru yang sejahtera dan juga dapat meningkatkan kemampuan sumberdaya yang ada untuk menciptakan kesejahteraan bersama, kewirausahaan dapat berjalan dengan baik jika pelaksananya memiliki karakteristik pribadi wirausaha.
Dalam mengembangkan antara wirausaha dan inovasi, wirausaha adalah orang yang melakukan inovasi sedangkan orang yang tidak sedang melakukan inovasi dianggap tidak melakukan peran sebagai wirausaha. Dan inovasi itu sendiri mempunyai pengertian yang sedikit lebih spesifik, yaitu suatu usaha untuk menciptakan perubahan yang terfokus dan disengaja di bidang ekonomi atau potensi sosial suatu organisasi. (http://www.pertamina.com/indonesia/head_office/hupmas/news/BPertamina/2004/Juni/14_Juni/BP120604M203.htm).
Kemampuan kewirausahaan menjadi salah satu hal yang tengah digiatkan di lembaga pendidikan Pondok Pesantren, tujuannya agar santri tidak hanya mampu menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku sekolah atau Pondok Pesantren, tetapi juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan bukan sibuk untuk mencari lapangan pekerjaan yang semakin terbatas. Contohnya adalah dengan memberikan kecakapan hidup (life skill) yang berupa kemampuan beternak, budidaya perikanan, perkebunan, pengolahan obat-obatan, berdagang, perbengkelan otomotif, dan permebelan. Santri yang masuk dalam lembaga pendidikan pondok pesantren terdiri dari berbagai latar belakang karakteristik sosiologis yang berbeda-beda, perbedaan tersebut masing-masing terletak pada perbedaan asal daerah, status sosial ekonomi orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan jenis pondok pesantren dimana santri tersebut belajar, tetapi ada pertanyaan yang perlu dicari jawabannya disini adalah apakah potensi kemampuan kewirausahaan seorang santri memiliki perbedaan dengan pelbagai latar belakang karakteristik sosiologis tersebut? Hal ini mengingat adanya asumsi awal bahwa setiap orang memiliki potensi kemampuan kewirausahaan.
Penelitian ini berusaha mengungkap bagaimana potensi kemampuan kewirausahaan santri ditinjau dari beberapa latar belakang karakteristik sosiologis santri di Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Modern Daarul Fikri di JL. Margojoyo VII/6 Dau Malang dan Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Syamsul ‘Arifin di Desa Pukul Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar