Konflik etnik tersebut memberi bukti bahwa kekokohan bangunan supra-struktur negara kebangsaan sangat rapuh. Ada dua faktor penyebab kerapuhan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, doktrin ideologis ‘Bhineka Tunggal Ika’ telah diselewengkan oleh sebuah kekuatan yang berorientasi pada pemerintahan pusat.
Akibatnya daerah-daerah kurang diberi kepercayaan untuk mengurus dirinya sendiri (cf.UndangUndang Nomor 22/1999 dan Nomor 25/2000; Asep, 2002; Suparlan, 2002). Kedua, Pembangunan yang dilakukan di atas sebuah komunitas plural lebih memaksakan pola yang berkarakteristik penyeragaman berbagai aspekdikesampingkan (cf.Abdullah, 2001; Baptiste Jr,1986; Suzuki, 1979). Ada tiga hal yang biasa melatar belakangi munculnya disinteraksi antara kelompok mayoritas dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas (Purwasito, 2003: 147), yaitu: (1) prasangka historis, (2) diskriminasi dan (3) perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain (out-group).
Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearipan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatanhambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubunganhubungan antar etnis.
Konsep kearipan budaya lokal, dalam kontek kehidupan dan relasi sosial ditengah komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (power) dalam menciptakan suasana sosial yang kondusif. Maka dengan memahami dan mengangkat kearipan budaya lokal dalam kontek kehidupan ditengah masyarakat yang pluralis, secara sejatinya dapat memberikan peran bagi tertatanya hubungan sosial yang harmoni dengan semangat saling menghargai dan menghormati.
Di masa lalu, sistem pendidikan nasional kita lebih bercirikan ‘keseragaman’ yang berlandaskan pada budaya nasional yang berdiri di atas puncak-puncak kebudayaan daerah. Akibatnya, pendidikan diselenggarakan ‘within the context of majority rule amidst competing minorities’ dan dikelola ‘ as demands for substantial expansion or contraction of the net scope of authoritative allocation’ (cf.Sizemore, 1978; Greenfield, 1982; Crossley, 1985). Pendidikan yang dilaksanakan dengan dua prinsip tadi di sebut pendidikan monokultural. Pendidikan monokultural sangat rentan terhadap konflik SARA (Dove, 1983; Bray, 1986; Lillis, 1986).
Otonomi daerah berjalan seiring dengan proses desentralisasi pendidikan yang dalam melibatkan peran serta masyarakat mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia Indonesia dan masyarakat setempat. Iniperspektif filosofis harus beranjak dari suatu paradigma baru pendidikan menuju ada pengakuan terhadap aspirasi masyarakat setempat dan dengan sendirinya pengakuan pada individu. Maka paradigma baru dalam Undangundang Sistem Pendidikan Nasional harus mengacu pada pendidikan multikultural yaitu adanya kebudayaan beragam dalam suatu masyarakat yang tetap merupakan kesatuan. Demikian juga kebutuhan pembelajaran individu berbeda dalam perbedaan realitas sosio-historis, sosio-ekonomis, suku-bangsa, sosio-psokologis. Artinya akan dihadirkan populasi sasaran beragam dalam konteks sistem persekolahan (Semiawan, 2002).
Pada masyarakat multikultural memiliki tipe/pola tingkah-laku yang khas. Sesuatu yang dianggap sangat tidak normal oleh budaya tertentu tetapi dianggap normal atau biasa-biasa saja oleh budaya lain. Perbedaan semacam inilah yang sering menyebabkan kontradiksi atau konflik, ketidak-sepahaman dan disinteraksi dalam masyarakat multikultur. Seperti yang dikatakan O’Sullivan (1994.67), bahwa setiap kebudayaan memiliki bentuk yang khas, tingkah laku yang unik, yang memiliki latar budaya yang berbeda.
Subkultur dan mikrokultur yang beragam di Indonesia mau tidak mau ditentukan sebagai bagian dari suatu entitas sosial dari budayamempunyai keunikan dan kekhasan dengan berbagai kebiasaan, adat istiadat dan pengalaman lokal, nilai-nilai sosial dan harapan-harapan hidup yang selalu tidak sama dengan budaya dominan. Hal ini berarti bahwa fungsi dan tugas lembaga pendidikan harus mengedepankan pola variatif dan mengakui pluralisme sehingga perbedaan tidak menjadi hambatan tetapi menjadi sumber kekuatan untuk hidup berdampingan. Bagaimana suatu lembaga pendidikan mampu mensosialisasikan nilai-nilai multikulturalisme akan lebih terarah bila terintegrasi dalam mata pelajaran atau dengan menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Penelitian ini merupakan sebuah investigasi terkendali yang dirancang dengan melakukan suatu analisis kebutuhan untuk mengembangkan model pendidikan multikultural (multicultural education) sebagai salah satu alat untuk menekan dan meminimalisir potensi konflik antar etnik. Salah satu batasan tentang pendidikan multikultural adalah apa yang disebutkan oleh Sizemore sebagai berikut:
“Multicultural education, then, is the process of acquiring knowledge and information about the efforts of many different groups against adverse agencies and conditions for control of their destinies through the study of the artifacts and substances which emanated the reform”(1978:2).
Pembatasan konsep pendidikan multikultural seperti di ataskelompok yang terancam ‘punah’. Secara teoritik pendidikan multikultural akan dapat mengembangkan pemahaman dan apresiasi antar etnik yang dimulai dari latar belakang etniknya sendiri dan baru kemudian diperluas kepada etnik lainnya (Suzuki, 1979).
Melalui pendekatan proses diharapkan dapat membuat kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial dan budaya akan berusaha mengembangkan pemahaman dan rasa hormat terhadap keragaman budaya, memperkecil etnosentrisme, memperkecil prasangka buruk kepada etnik lain dan meningkatkan pemahaman terhadap perbedaan sosial, ekonomi, etnik dan psikologi serta memperkecil kemungkinan terjadinya konflik antar etnik (Suzuki, 1979; Sizemore, 1979; Pachero, 1977; Gay, 1977).
Dalam literatur penelitian internasional telah banyak disimpulkan tentang kekuatan pendidikan multikultural dapat menekan konflik etnik pada sebuah masyarakat yang berbudaya plural (cultural pluralism). Hawkins (1972) menunjukkan bahwa pendidikan multikultural sangat efektif untuk meningkatkan kesadaran terhadap persamaan derajat (equality), sikap demokratis, toleransi dan rasionalitas antar budaya. Hawkins (1972) juga menyimpulkan dengan rancangan kurikulum pendidikan multikultural yang baik, maka kekuatan purbasangka dan diskriminasi etnik dapat ditekan secara maksimal.
Akibatnya daerah-daerah kurang diberi kepercayaan untuk mengurus dirinya sendiri (cf.UndangUndang Nomor 22/1999 dan Nomor 25/2000; Asep, 2002; Suparlan, 2002). Kedua, Pembangunan yang dilakukan di atas sebuah komunitas plural lebih memaksakan pola yang berkarakteristik penyeragaman berbagai aspekdikesampingkan (cf.Abdullah, 2001; Baptiste Jr,1986; Suzuki, 1979). Ada tiga hal yang biasa melatar belakangi munculnya disinteraksi antara kelompok mayoritas dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas (Purwasito, 2003: 147), yaitu: (1) prasangka historis, (2) diskriminasi dan (3) perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan dengan menganggap inferior pihak yang lain (out-group).
Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearipan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatanhambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubunganhubungan antar etnis.
Konsep kearipan budaya lokal, dalam kontek kehidupan dan relasi sosial ditengah komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (power) dalam menciptakan suasana sosial yang kondusif. Maka dengan memahami dan mengangkat kearipan budaya lokal dalam kontek kehidupan ditengah masyarakat yang pluralis, secara sejatinya dapat memberikan peran bagi tertatanya hubungan sosial yang harmoni dengan semangat saling menghargai dan menghormati.
Di masa lalu, sistem pendidikan nasional kita lebih bercirikan ‘keseragaman’ yang berlandaskan pada budaya nasional yang berdiri di atas puncak-puncak kebudayaan daerah. Akibatnya, pendidikan diselenggarakan ‘within the context of majority rule amidst competing minorities’ dan dikelola ‘ as demands for substantial expansion or contraction of the net scope of authoritative allocation’ (cf.Sizemore, 1978; Greenfield, 1982; Crossley, 1985). Pendidikan yang dilaksanakan dengan dua prinsip tadi di sebut pendidikan monokultural. Pendidikan monokultural sangat rentan terhadap konflik SARA (Dove, 1983; Bray, 1986; Lillis, 1986).
Otonomi daerah berjalan seiring dengan proses desentralisasi pendidikan yang dalam melibatkan peran serta masyarakat mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia Indonesia dan masyarakat setempat. Iniperspektif filosofis harus beranjak dari suatu paradigma baru pendidikan menuju ada pengakuan terhadap aspirasi masyarakat setempat dan dengan sendirinya pengakuan pada individu. Maka paradigma baru dalam Undangundang Sistem Pendidikan Nasional harus mengacu pada pendidikan multikultural yaitu adanya kebudayaan beragam dalam suatu masyarakat yang tetap merupakan kesatuan. Demikian juga kebutuhan pembelajaran individu berbeda dalam perbedaan realitas sosio-historis, sosio-ekonomis, suku-bangsa, sosio-psokologis. Artinya akan dihadirkan populasi sasaran beragam dalam konteks sistem persekolahan (Semiawan, 2002).
Pada masyarakat multikultural memiliki tipe/pola tingkah-laku yang khas. Sesuatu yang dianggap sangat tidak normal oleh budaya tertentu tetapi dianggap normal atau biasa-biasa saja oleh budaya lain. Perbedaan semacam inilah yang sering menyebabkan kontradiksi atau konflik, ketidak-sepahaman dan disinteraksi dalam masyarakat multikultur. Seperti yang dikatakan O’Sullivan (1994.67), bahwa setiap kebudayaan memiliki bentuk yang khas, tingkah laku yang unik, yang memiliki latar budaya yang berbeda.
Subkultur dan mikrokultur yang beragam di Indonesia mau tidak mau ditentukan sebagai bagian dari suatu entitas sosial dari budayamempunyai keunikan dan kekhasan dengan berbagai kebiasaan, adat istiadat dan pengalaman lokal, nilai-nilai sosial dan harapan-harapan hidup yang selalu tidak sama dengan budaya dominan. Hal ini berarti bahwa fungsi dan tugas lembaga pendidikan harus mengedepankan pola variatif dan mengakui pluralisme sehingga perbedaan tidak menjadi hambatan tetapi menjadi sumber kekuatan untuk hidup berdampingan. Bagaimana suatu lembaga pendidikan mampu mensosialisasikan nilai-nilai multikulturalisme akan lebih terarah bila terintegrasi dalam mata pelajaran atau dengan menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Penelitian ini merupakan sebuah investigasi terkendali yang dirancang dengan melakukan suatu analisis kebutuhan untuk mengembangkan model pendidikan multikultural (multicultural education) sebagai salah satu alat untuk menekan dan meminimalisir potensi konflik antar etnik. Salah satu batasan tentang pendidikan multikultural adalah apa yang disebutkan oleh Sizemore sebagai berikut:
“Multicultural education, then, is the process of acquiring knowledge and information about the efforts of many different groups against adverse agencies and conditions for control of their destinies through the study of the artifacts and substances which emanated the reform”(1978:2).
Pembatasan konsep pendidikan multikultural seperti di ataskelompok yang terancam ‘punah’. Secara teoritik pendidikan multikultural akan dapat mengembangkan pemahaman dan apresiasi antar etnik yang dimulai dari latar belakang etniknya sendiri dan baru kemudian diperluas kepada etnik lainnya (Suzuki, 1979).
Melalui pendekatan proses diharapkan dapat membuat kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial dan budaya akan berusaha mengembangkan pemahaman dan rasa hormat terhadap keragaman budaya, memperkecil etnosentrisme, memperkecil prasangka buruk kepada etnik lain dan meningkatkan pemahaman terhadap perbedaan sosial, ekonomi, etnik dan psikologi serta memperkecil kemungkinan terjadinya konflik antar etnik (Suzuki, 1979; Sizemore, 1979; Pachero, 1977; Gay, 1977).
Dalam literatur penelitian internasional telah banyak disimpulkan tentang kekuatan pendidikan multikultural dapat menekan konflik etnik pada sebuah masyarakat yang berbudaya plural (cultural pluralism). Hawkins (1972) menunjukkan bahwa pendidikan multikultural sangat efektif untuk meningkatkan kesadaran terhadap persamaan derajat (equality), sikap demokratis, toleransi dan rasionalitas antar budaya. Hawkins (1972) juga menyimpulkan dengan rancangan kurikulum pendidikan multikultural yang baik, maka kekuatan purbasangka dan diskriminasi etnik dapat ditekan secara maksimal.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar