Keberadaan bahasa dalam kehidupan manusia memunyai peranan yang sangat penting. Namun, hal itu terkadang kurang begitu dipahami oleh penuturnya, sehingga tidak terasa sebuah peradaban dapat diubah dengan keberadaan suatu bahasa. Di sinilah faktor penutur bahasa menentukan suatu keberadaan suatu bahasa di tengah-tengah kehidupan mereka. Hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa Jawa sangat bergantung kepada penuturnya, yang berbahasa ibu bahasa Jawa, di dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni membawa para penutur bahasa Jawa mau tidak mau harus berhubungan dengan pemilik bahasa yang lain, seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Betawi, dan sebagainya.
Berdasarkan gejala kebahasaan tersebut akan diperoleh perubahan bentuk komunikasi antarpara penutur pemakai bahasa. Hal itu terlihat dengan adanya perbedaan perlakuan bahasa yang digunakan oleh para penutur kepada mitra tuturnya. Dengan demikian, loyalitas penutur bahasa ibu mendapat tantangan. Jika mereka masih memunyai keloyalitasan tinggi terhadap bahasa ibunya, maka mereka telah mempertahankan keberadaan bahasa ibu. Namun sebaliknya, jika sikap yang dimunculkan mereka antipati atau kurang menghargai bahasa ibunya,
maka keberadaan bahasa ibu tersebut dimungkinkan mengalami pergeseran.
Situasi kebahahasaan seperti ini menggambarkan bahwa telah terjadi kontak bahasa antara bahasa ibu dan bahasa lain. Menurut Chaer dan Agustina (2004:84) dan Lukman (dalam http://www.pascaunhas.net/jurnalpdf/vol12/LUKMAN12 pdf), kontak bahasa tersebut dapat menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan, seperti kedwibahasaaan, diglosia, alih kode, interferensi, konvergensi, pergeseran bahasa, dan pemertahanan bahasa.
Fenomena kebahasan itu bagi bangsa Indonesia yang multilingual dan multikultural tidak lagi terelakkan, khususnya pergeseran bahasa. Seperti halnya makhluk hidup, tampaknya bahasa juga tunduk pada hukum seleksi alam yang oleh kaum evolusionis dirumuskan dalam frase survival of the fittest, yang intinya adalah bahwa hanya organisme yang paling mampu menyesuaikan diri dalam perjuangan melawan seleksi alamlah yang akan lestari hidup. Yang tidak dapat menyesuaikan diri terpaksa tunduk kepada seleksi alam itu: lahir, hidup, dan kemudian mati.
Walaupun bahasa bukanlah organisme, ia dapat mati juga. Kematian bahasa tidak hanya berlaku bagi bahasa kecil. Bahasa besar seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta pun mengalami kematian, dalam arti tidak lagi dipakai sebagai bahasa ibu dalam suatu guyub bahasa (Gunarwan 1999).
Wilian (2005:94) berpendapat bahwa gejala pergeseran bahasa itu memang juga sedang melanda bahasa daerah lain di Indonesia. Misalnya penelitian Gunarwan (2001) yang menghasilkan temuan bahwa bahasa Lampung (bahasa daerah) tergeser akibat adanya desakan bahasa Indonesia. Di samping itu, pergeseran bahasa (language shift) juga bisa terjadi di kalangan generasi muda. Sebagaimana penelitian bahasa Tonsea di Sulut yang dilakukan oleh Wantania
(1996) dan Siregar et.al (1998) yang meneliti kasus pemertahanan bahasa dan sikap bahasa masyarakat bilingual di Medan.
Berkaitan dengan hal di atas, bahasa Jawa sebagai bahasa daerah yang dipakai di Losari diasumsikan juga bergeser. Adanya desakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya merupakan penyebab pergeseran bahasa Jawa di Losari sulit dihindarkan. Bahkan, pola pewarisan bahasa Jawa di Losari ke generasi berikutnya telah sedikit memudar akibat kemajuan zaman menuju era global.
Secara administratif, Losari merupakan salah satu wilayah kecamatan dari17 kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes dengan luas wilayahnya 8.943 Ha (BPS 2003a:3). Selain itu, Losari merupakan wilayah yang langsung bersinggungan (berbatasan) dengan provinsi Jawa Barat--batas sebelah barat. Di sebelah utara, Losari berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banjarharjo. Untuk sebelah timur, Losari berbatasan dengan kecamatan Tanjung dan Kersana (BPS 2003b:1). Berdasarkan kondisi geografis tersebut Losari dimungkinkan memunyai fenomena kebahasaan yang sangat variatif dan menarik.
Berdasarkan Laporan Monografi Kependudukan Kecamatan Losari bulan Januari 2005 diperoleh gambaran bahwa wilayah Losari dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu: (a) wilayah utara, meliputi: Prapag Lor, Prapag Kidul, Karangdempel, Limbangan, Pengabean, Losari Lor, dan Kecipir, (b) wilayah tengah, meliputi: Losari Kidul, Blubuk, Pekauman, Randusari, Kedungneng, Kalibuntu, dan Babakan, serta (c) wilayah selatan, meliputi: Dukuhsalam, Bojongsari, Karangsambung, Negla, Karangjunti, Rungkang, Jatisawit, dan
Randegan. Di samping itu, diperoleh juga jumlah penduduknya ada 125.823 jiwa,
62.254 laki-laki dan 63.569 perempuan.
Dilihat dari kondisi kemasyarakatannya, masyarakat Losari merupakan masyarakat yang sebagian besar penduduknya menggantungkan pada bidang cocok tanam (agraris). Dari hasil cocok tanaman tersebut, mereka menjual ke pasar-pasar di wilayah Jawa Barat. Untuk itu, mobilitas penduduk Losari ini menyebabkan kontak bahasa antara penutur bahasa Jawa Brebes dan penutur bahasa Sunda. Dengan ini, salah satu dari bahasa tersebut dimungkinkan mengalami pergeseran.
Berdasarkan kondisi geografis yang dimiliki Losari, dapat dipahami bahwa bahasa yang paling utama digunakan masyarakatnya adalah bahasa Jawa. Namun, kenyataan di lapangan membuktikan bahwa selain bahasa Indonesia, masyarakat Losari juga menggunakan bahasa Sunda Brebes di samping bahasa Jawa Brebes. Hal ini dipertegas oleh Sasangka (1999:23-39) dalam penelitiannya Bahasa- Bahasa Daerah di Kabupaten Brebes yang menyatakan bahwa secara garis besar dapat dikatakan ada dua bahasa--selain bahasa Indonesia (bI)--yang digunakan oleh masyarakat Brebes, yaitu bahasa bahasa Sunda Brebes (basa sakola ‘bahasa sekolah’--meminjam istilah dari Ayatrohaedi 1979:7) (bSB) dan bahasa Jawa Brebes (bJB). Untuk itu, tidak salah jika Losari dikatakan daerah yang multilingual dan multikultural. Semakin ke selatan dari arah Losari bahasa yang digunakan masyarkatnya sehari-hari dipengaruhi oleh bahasa Sunda. Akan tetapi, semakin ke arah utara bahasa yang digunakan masyarakatnya sehari-hari dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Perbedaan pengaruh inilah memberikan peluang terjadinya pergeseran bahasa Jawa--sebagai bahasa ibu.
Berdasarkan fenomena tersebut kontak bahasa menjadi sering terjadi. Situasi ini menyebabkan situasi yang diglosik. Penutur akan menggunakan bahasa berdasarkan pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa. Bahkan, dapat mengarah pada multilingualisme atau bilingualisme yang diglosik, sebab penggunaan bahasa tersebut memunyai fungsi yang berbeda.
Di sisi lain, perbatasan yang dimiliki Losari memberikan fenomena unik, karena percampuran penutur bahasa yang berbeda dan percampuran kebudayaan yang berbeda pula akan membawa fenomena kebahasaan yang beraneka ragam. Tidak menutup kemungkinan migrasi penduduk, baik dengan cara perkawinan atau pilihan peningkatan kualitas hidup, dapat mendorong adanya keberadaan suatu bahasa yang ada. Berdasarkan kondisi tersebut, Losari dijadikan sebagai daerah pemfokusan penelitian ini. Kemudian, daerah Losari ini diambil dua kawasan (daerah) tekan dalam penelitian ini, yaitu: (a) desa Randegan mewakili daerah pinggiran (rural) yang diasumsikan lebih homogen, dan (b) desa Losari, baik Losari Kidul atau Losari Lor, yang merupakan pusat pemerintahan kecamatan mewakili daerah perkotaan (urban) dan diasumsikan lebih heterogen.
Fenomena kebahasan dapat terjadi juga dalam ranah-ranah yang ada di masyarakat. Peneliti memilih penelitian ini dilakukan dalam ranah keluarga. Dasar yang digunakan dalam pemilihan ranah keluarga ini yaitu ranah ini terdapat pada setiap masyarakat bahasa. Kemudian dalam ranah tersebut terlihat adanya interaksi antaranggota inti keluarga maupun dengan keluarga lainnya. Di samping itu, sebuah keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil yang mampu menggambarkan potret kelompok masyarakat yang sebenarnya.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar