A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah lepas dari fenomena-fenomena sosial. Fenomena-fenomena sosial itu banyak macamnya, mulai dari masalah politik, kriminalitas, gender, hukum, kemiskinan, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, fenomena sosial yang terkait dengan masalah gender sangat kompleks dan banyak macamnya. Terutama bagi kaum perempuan yang lebih sering menjadi objek dalam permasalahan gender.
Sosok perempuan sering kali dianggap sebagai the other sex atau the second sex yang mana keberadaannya sering kali tidak diperhitungkan. Posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat tidak lebih hanya sebagai konco wingking-nya laki-laki, artinya, tugas sosialnya hanyalah sekadar pelayan bagi seorang suami, seorang istri hanya bertugas menghidangkan makanan bagi sang suami, mengandung dan melahirkan anaknya, dan bahkan tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal tentang suaminya. Perempuan juga hanya ibu bagi anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak, tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang pengasuhan dan pendidikan anak.
Perempuan sering kali berada dalam kondisi yang terpuruk dan mengenaskan. Banyak kaum perempuan yang tidak pernah merasakanpendidikan formal. Pendidikan nonformal dari pihak keluarga dan lingkungan hanya sekadar pembekalan untuk mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja.
Interaksi sosial bagi kaum perempuan dengan masyarakat luas hampir menjadi suatu hal yang mustahil, karena perempuan terpenjara di antara dinding-dinding rumah. Keadaan yang ironis tersebut memasung kebebasan kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak, berpikir dan berbuat yang semestinya menjadi hak asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan tunduk di bawah kekuasaan kaum laki-laki.
Melalui konstruksi sosial dan budaya dalam masyarakat, kaum perempuan menjadi semakin tertindas. Adanya konstruksi sosial dan budaya tersebut, muncul adanya pembagian peran dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Adanya perbedaan peranan tersebut sering kali membawa masalah terutama bagi kaum perempuan.. Perbedaan peran itu tampak pada tugas-tugas harian antara laki-laki dan perempuan yang tampak pada pemilahan akan tugas kerumahtanggaan (mencuci, memasak dan melayani suami) untuk perempuan, dan pencarian nafkah untuk laki-laki. Sehingga gender menjadi bias. Masalah gender telah mengalami bias yang sulit untuk dipecahkan.
Sebenarnya perbedaan gender tidak menjadi masalah selama tidak memunculkan ketidakadilan gender. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu perbedaan gender telah membawa pada bentuk ketidakadilan gender.
Karena itulah gender dipermasalahkan sehingga membawa akibat pada diskriminasi dan ketidakadilan.
Banyak kasus-kasus yang muncul dalam masyarakat terkait dengan permasalahan gender. Pelecehan seksual, beban kerja ganda, pemerkosaan, kekerasaan fisik maupun sikologis atau kejiwaan dan lain sebagainya. Dalam hal pendidikan misalnya, perempuan pernah mengalami pendiskriminasian, terutama pada masa pemerintah kolonial Belanda. Perempuan dianggap sebagai sosok yang tidak pantas untuk mendapat pendidikan untuk itu pendidikan perempuan diabaikan. Dalam masalah hukum perempuan seringkali mendapat pendiskriminasian pula. Banyak sekali kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang korbannya kebanyakan adalah perempuan, tidak mendapat penanganan dari hukum. Dalam bidang ekonomi, perempuan juga sering mendapat pendiskriminasian seperti tidak diperhitungkannya kerja domestik perempuan dalam statistik perekonomian negara. Dan masih banyak lagi.
Fenomena-fenomena yang ada di dalam masyarakat tidak semata-mata muncul dalam kehidupan nyata manusia. Namun dalam hal lainpun ternyata fenomena-fenomena sosial itu juga nampak, seperti dalam sastra.
Fenomena sosial dalam masyarakat yang terkait dengan masalah gender, banyak sekali muncul dalam dunia sastra. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan banyaknya karya sastra yang tokohnya adalah perempuan yang ditindas oleh laki-laki. Misalnya tampak antara lain pada novel Gadis Pantaikarya Pramudya Ananta Toer, Pengakuan Pariyem karya Linus Suriadi A.G., dan dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dalam novel-novel tersebut tergambar posisi perempuan yang subordinat. Perempuan selalu bergantung pada apa kata laki-laki sekalipun banyak hal dari perkataan dan tindakan laki-laki tidak sesuai dengan kata hatinya. Kata-kata laki-laki seolah tak terbantahkan. Perempuan harus bersikap pasrah dan nrimo.
Dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, digambarkan seorang ronggeng yang secara terang-terangan menjadi korban kekuasaan laki-laki dan budaya masyarakat. Di dalamnya menceritakan mengenai kehidupan seorang ronggeng bernama Srintil. Sebagai ronggeng, Srintil kerap kali mengalami tindak asusila dari para laki-laki yang menginginkan menari bersamanya. Untuk menjadi seorang ronggeng, Srintil dipaksa menjual keperawanannya. Tatkala Srintil menginginkan berhenti dari melayani lak-laki yang menghendaki dirinya, Srintil harus terlebih dahulu menerima cemooh dari pengasuhnya.
Budaya masyarakat di mana Srintil tinggal, telah menetapkan bahwa sarat sah seorang ronggeng adalah harus menyerahkan keperawanan meskipun tanpa kerelaan dari pemilik. Seorang ronggeng harus bersedia melayani laki- laki yang menginginkan dirinya. Sebagai perempuan, Srintil seolah-olah pantas menjadi objek nafsu laki-laki. Konstruksi sosial budaya masyarakat telah menjadikan Srintil sebagai perempuan teraniaya dan terpinggirkan. Bahkan dirinya tidak pernah merasakan kehidupan manis seperti yangdiinginkannya, yaitu hidup sebagai istri dengan memiliki suami yang menyayangi dan seorang anak yang dicintai.
Banyak sekali sastra Indonesia, khususnya dalam novel atau yang sejenisnya (baca: novela) yang menceritakan mengenai permasalahan gender. Diungkapkan oleh Lilis, bahwa tema-tema seputar rumah tangga dan persoalan-persoalan yang mengiringinya seperti cinta, perselingkuhan, penganiayaan, pemerkosaan dan sejenisnya, banyak dialami oleh kaum perempuan (Lilis, 2005).
Tema-tema seputar kehidupan rumah tangga, cinta, kekerasan, penganiayaan, dan pemerkosaan memang bukan hal yang aneh. Di dalam dunia telenovela dan sinetron, tema-tema seperti itu kerap ditemukan. Biasanya tema-tema tersebut disajikan dengan konflik-konflik keras, penuh pertengkaran, dan air mata (Lilis, 2005).
Novela Kusamnya Langit Dini Hari memerlukan sebuah kajian yang lebih mendalam. Secara lebih mendalam, diperlukan suatu kajian yang dapat mengungkap dan menganalisis teka-teksnya. Apakah di dalamnya mengandung permasalahan bias gender atau idak. Apakah novela ini menggambarkan sebuah realitas sosial yang terkait dengan permasalahan gender?
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
atau klik disini
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar