BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kualitas manusia menjadi lebih baik. Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang Pendidikan Nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia sec`ra menyeluruh.
Sekolah merupakan salah satu organisasi pendidikan yang dapat dikatakan sebagai wadah untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Untuk mewujudkan tercapainya keberhasilan pendidikan di sekolah, banyak factor yang mempengaruhi, diantaranya adalah efektifitas pembelajaran yang berlangsung di sekolah itu sendiri.
Efektifitas merupakan salah satu indikator dari produktivitas. Efektifitas pembelajaran mengacu pada pencapaian target secara kuantitas dan kualitas sasaran pembelajaran. Makin besar persentase target suatu program yang tercapai , makin tinggi tingkat efektifitasnya. Efektifitas dalam pembelajaran sangat diperlukan untuk mendapatkan output proses pendidikan yang baik.
Keberhasilan pembelajaran di sekolah tergantung pada sumber daya manusia yang ada di sekolah tersebut yaitu Kepala sekolah, guru, siswa, pegawai tata usaha dan tenaga kependidikan yang lainnya. Selain itu perlu didukung pula oleh sarana dan prasarana yang memadai.
Untuk membentuk manusia yang sesuai dengan pembangunan nasional yang pada hakeketnya bertujuan meningkatkan kulitas manusia dan seluruh masyarakat Indonesia yang maju, modern berdasrkan pancasila, maka dibutuhkan tenaga pendidik yang berkualitas.
Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB XII pasal 45 tentang sarana dan prasarana menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, social, emosional dan kewajiban peserta didik.
Ketentuan dalam pasal 45 ini diatur dengan peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Pada BAB VII Standar Sarana dan Prasarana Pasal 42 menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Pengadaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana / fasilitas pembelajaran antar sekolah negeri sangat bervariatif. Dalam hal pengadaan sarana, ada kecenderungan bahwa sekolah-sekolah yang memiliki pimpinan (kepala sekolah) yang “lincah dan gesit” serta mempunyai hubungan yang baik dengan penentu kebijakan pemberian bantuan saranalah yang akan banyak mendapatkan fasilitas pembelajaran, sedangkan untuk sekolah-sekolah dengan pimpinan yang kurang “lincah dan gesit” serta mempunyai hubungan yang belum baik dengan penentu kebijakan pemberian bantuan sarana, hanya akan mendapatkan sedikit atau bahkan tidak mendapatkan bantuan kelengkapan sarana prasarana/fasilitas pembelajaran.
Di sekolah-sekolah tertentu dijumpai adanya pemanfaatan fasilitas pembelajaran yang tidak optimal misalnya terjadi di sekolah tertentu di kabupaten Sumedang, laboratorium yang sudah bagus kurang dapat termanfaatkan dengan baik. Karena sering tidak dipergunakan maka pemeliharaan pun akan dengan sendirinya tidak akan optimal pula, hal yang demikian akan membuat fasilitas yang ada rusak bukan karena dipergunakan, namun rusak karena kurang pemanfaatan dan pemeliharaan.
Susilana & Riyana (2007: 11) mengemukakan bahwa:
”...pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan berbagai sumber untuk belajar. Pembelajaran dapat melibatkan dua pihak yaitu siswa sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator”.
Pemahaman dari pendapat Susilana & Riyana ini dapat diartikan bahwa peran guru akan mempengaruhi hasil pembelajaran. Guru merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan untuk terselenggaranya proses prmbelajaran. Keberadaan guru merupakan pelaku utama, yaitu sebagai fasilitator penyelenggara proses belajar siswa. Oleh karena itu kehadiran dan profesionalismenya sangat berpengaruh dalam mewujudkan program pendidikan Nasional. Guru harus memiliki kualitas yang memadai, karena guru merupakan salah satu komponen system pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran dalam proses pendidikan persekolahan.
Guru bertanggungjawab sebagai medium agar anak didik dapat mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu guru harus memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang kuat, memiliki ketrampilan untuk membangkitkan minat peserta didik dan mengembangkan profesinya yang berkesinambungan.
Ditinjau dari jenjang pendidikan, maka Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan jenjang pendidikan yang akan mengantarkan atau mempersiapkan peserta didiknya untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu di perguruan tinggi. Oleh karena itu siswa maupun pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam proses pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung diharapkan mampu bekerjasama dan bertanggungjawab dalam menciptakan prestasi siswa yang memuaskan, sehingga pada akhirnya siswa mendapatkan ilmu yang mencukupi sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Guru (pendidik) merupakan kunci keberhasilan (determinant factors) dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas (Danial,
2005:1), guru merupakan salah satu faktor penentu dalam menunjang keberhasilan pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan sumber daya manusia yang berada di front paling depan saat terjadinya proses belajar mengajar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Muijs dan Reynolds (Soetjipto, 2008:8) yang membuktikan bahwa prilaku guru di kelas merupakan faktor terpenting dalam efektifitas pembelajaran. Dari paparan dimuka dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan dapat ditekankan pada peningkatan etos kerja guru. Melalui peningkatan etos kerja guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya diharapkan efektifitas pembelajaran dapat tercapai.
Sering dijumpai kasus adanya seorang guru yang datang ke sekolah terlambat, pulang sebelum waktunya, menyusun rencana pembelajaran hanya dengan melakukan copy paste tanpa merevisi isi dari rencana program pembelajran (RPP), tidak memanfaatkan fasilitas pembelajaran yang tersedia disekolah dengan optimal, kurang cekatan dalam menghadapi permasalahan pekerjaan, kurang bisa bersikap ramah terhadap siswa, dan lain sebagainya. Apabila hal semacam itu banyak terjadi pada guru tentu saja pembelajaran tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Hal tersebut dimuka sesuai dengan pendapat Supriadi (1999:68)
yang mengemukakan bahwa:
“…ada kondisi-kondisi yang melekat pada guru dan profesinya yang membuat betapa tidak sederhana memecahkan persoalan yang berkaitan dengan masalah yang terlibat didalamnya. Dimana di Indonesia masalah itu ada yang sifatnya internal pada guru misalnya kemampuan, motivasi dan etos kerja”.
Etos kerja yang tinggi seyogyanya harus dimiliki oleh setiap guru. Karena keberhasilan pembelajaran membutuhkan kerja keras dan komitmen yang tinggi dari para guru. Apabila etos kerja yang tinggi tidak dimiliki guru maka pembelajaran tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan sehingga tujuan dari proses pendidikan tidak akan tercapai pula.
Berdasarkan paparan di atas bahwa fasilitas belajar dan etos kerja guru memiliki peranan penting dalam efektifitas pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti secara ilmiah tentang kontribusi fasilitas layanan belajar dan etos kerja guru terhadap efektifitas pembelajaran.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word Mulai BAB 1 s.d. DAFTAR PUSTAKA, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar